Mari Belajar Pada Semut

Membaca judul ini, mungkin Anda bertanya-tanya, “Belajar kok sama semut? Apa tidak ada yang lain?” Yang saya maksud di sini semut betulan, lho. Bukan semut-semut di radio polisi yang artinya mahasiswa demo itu!

Apa sih istimewanya semut? Kenapa harus belajar sama semut? Kenapa kok tidak belajar sama gajah atau jerapah saja? Yah, selain kita memang tidak sedang membicarakan isi kebun binatang, mari kita contoh perilaku dan tabiat semut. Binatang yang sehari-hari bisa kita jumpai jadi nggak perlu ke kebun binatang untuk belajarnya. Hehe..

Oke, mari kita bahas perilaku semut itu satu persatu. Coba ambil seekor semut dan ajangan remehkan semutmati. Awas, jangan disiksa! Amati saja, karena sekarang semut itu guru kita. Sudahkah Anda lihat, kalau seekor semut berpapasan dengan sesama semut, mereka saling menyapa dengan menyentuhkan antenanya. Kita, sebagai manusia, jangankan saling bersalaman, kadang dengan teman sendiri saja saling buang muka, ancam-mengancam, malah kadang saling lempar kursi. Apalagi dengan orang yang belum dikenal? Artinya, semut itu jauh lebih ramah daripada kita. Bahkan, tanpa saling berkata-kata—atau ada bahasa semut ya? mereka sudah saling menyapa. Akrab, malah. Jadi contohlah semut dalam soal beramah-tamah dan berhubungan dengan orang lain.

Sudahkah Anda amati, kalau berbaris, semut itu bisa tertib. Antre. Padahal jumlahnya lebih banyak daripada mobil di Jakarta dijadikan satu. Kok bisa ya? Kita sendiri? Jangankan tertib, disuruh antre di loket saja tidak pernah bisa, apalagi di jalan. Tapi sebagian teman kita sekarang sudah mulai membiasakan diri antre ala semut. Pernah lihat antrean minyak tanah atau minyak goreng kan? Nah, antrean itu tidak kalah rapi kok sama antrean semut. Di sini kita belum terlalu kalah sama semut. Namun, bagi pengemudi mobil mewah yang sering menyerobot lampu merah—yang pasti belum pernah antre minyak tanah masih kalah sama sistem antre semut !

Semut juga hemat. Sangat hemat, malah. Dan, pemurah. Jadi kalau seekor semut itu membawa bangkai kepik, atau sebutir nasi, jangan Anda pikir akan dia habiskan sendirian saja. Justru itu untuk persediaan selama masa susah cari makanan. Atau malah untuk makanan dan persediaan seluruh koloni.

Bandingkan dengan saudara-saudara kita yang sekarang terkena kasus dugaan, dakwaan, atau malah terpidana korupsi? Mereka makan uang bermiliar, bahkan bertriliun, hanya untuk diri sendiri dan konco-konconya saja. Atau perilaku kita sendiri yang boros BBM, boros listrik, padahal kita tahu kalau barang-barang itu masih disubsidi oleh negara. Jadi hematkah kita? Pemurahkah? Setia kawankah?

Semut itu rajin bergotong-royong, itu pasti. Mulai dari cari makan, membuat sarang, sampai mengalahkan musuh yang lebih besar pun mereka gotong-royong dan bersatu padu. Ini mungkin masih bisa kita bandingkan dengan perilaku saudara-saudara kita di desa dan di pedalaman. Tapi di kota? Gotong-royong mungkin hanya menjadi cerita-cerita pelajaran anak SD, “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang rajin bergotong-royong.” Hanya itu. Rasa solidaritas pada yang kesusahan, gotong-royong justru semakin jarang kita lihat, meski untungnya masih terjadi di waktu-waktu tertentu saja, semisal kalau ada bencana alam.

Semut itu terorganisir, sangat pandai manajemen, terutama manajemen SDS (Sumber Daya Semut) atau ARD (Ants Resources Development). Lho kok? 

tumes licekLha iya. Semut itu mempunyai pembagian tugas yang jelas: ada semut ratu yang tugasnya kawin dan bertelur saja dan tentu saja sambil memerintah rakyat semut; ada semut prajurit yang tugasnya berperang; ada semut pekerja yang tugasnya mencari makan dan membangun sarang. Malah ada semut babysitter, yang tugasnya merawat telur-telur yang belum menetas.

Sekali menerima jabatan dan tugas, semut selalu melakukannya dengan sepenuh hati. Kalau perlu mereka mati demi tugas. Kita? Sekarang sudah tidak ada lagi spesialisasi seperti semut. Artis sangat bisa jadi politisi dan politisi jadi artis. Pemimpin jadi bintang iklan, pengusaha jadi pendakwah, atau yang jadi tren akhir-akhir ini, anggota dewan yang terhormat jadi terdakwa. Nah, kalah jauh kan sama semut?

Semut itu kuat. Kok kuat? Iya, dibandingkan dengan Anda dan saya, semut itu sangat kuat. Semut mampu mengangkat beban sampai sekitar 50 kali lipat berat tubuhnya sendiri. Secara fisik, kita pasti tak sekuat semut. Bahkan, meski Anda lifter (olahragawan angkat berat) sekali pun. Secara non fisik, kuat kah kita? Terus terang saya tidak terlalu kuat menahan godaan. Apalagi kalau godaan itu berupa harta, tahta, dan wanita. Saya lemah, mungkin Anda juga, tak sekuat semut.

Semut itu pemberani. Sangat pemberani malah. Nggak percaya? Coba Anda ganggu semut yang tadi Anda ambil. Pasti dia menggigit. Apalagi kalau Anda sengaja memasukkan jari Anda ke sarang semut, pasti mereka beramai-ramai menggigit Anda. Artinya, semut itu tidak peduli biar tantangan itu datang dari orang sebesar Anda, pasti mereka akan hadapi dengan berani.  Kita, termasuk saya tentunya, sering lari, bahkan takut menghadapi tantangan. Kita jarang sadar, di balik setiap tantangan itu pasti ada peluang. Kemelut masalah BBM ini misalnya, harusnya menjadi tantangan untuk lebih kreatif, lebih produktif, dan lebih hemat. Seluruh dunia menghadapi tantangan yang sama kok, mosok hanya kita sendiri yang ragu dan takut menghadapinya?

Semut itu tahan banting. Masih belum percaya? Coba anda naik ke gedung yang tinggi, atau malah naik pesawat. Jatuhkan semut yang Anda amati tadi dari ketinggian. Masih hidup kan dia? Meski mungkin Anda harus setengah mati mencari lagi semut guru Anda tadi, hehehe..

Tapi, ini sifat yang juga sungguh sangat layak dicontoh. Di Indonesia, mungkin hanya rakyat kecil atau pengusaha kecil yang tahan banting, karena hidup mereka dari dulu juga sudah terbanting-banting.

Jadi, tepat kan ajakan saya tadi untuk belajar pada semut, dan bukan pada gajah atau jerapah? Semut bisa jadi guru kita yang baik. Binatang-binatang kecil yang lain juga. Padi dan ilalang juga bisa. Binatang dan tumbuhan berukuran kecil yang selama ini kita anggap remeh ternyata punya kelebihan dibandingkan kita, termasuk, dan khususnya, saya.

Tidak perlu memandang ke atas untuk mencari teladan. Di saat banyak pemimpin kita yang sudah tidak dapat dijadikan teladan lagi, lebih baik kita cari guru dan teladan lain dari sekitar kita. Kalaupun bukan semut atau binatang dan tumbuhan lain, mungkin teman sebelah Anda bisa jadi teladan. Atau malah mungkin bawahan Anda, dijadikan teladan. Tidak perlu malu untuk belajar, dari semut atau dari rakyat paling jelata dan miskin sekalipun.

Oh ya, tolong lepaskan lagi semut guru kita yang sudah Anda ambil tadi, ya! Kalau tidak, saya takut diserbu semut-semut yang marah, karena tidak berperikesemutan dalam tulisan ini. Dan ingat, sedapat mungkin, jangan mengganggu semut, apalagi secara berlebihan. Gajah yang besar saja bisa ditumbangkan semut, benar kan?

Tinggalkan komentar