Sepak Bola Hatiku

Setiap manusia pasti tidak terlepas dari suatu ujian. Saat ujian terbesar dalam hidup ini menghampiri, masih sangat sulit sekali untuk saya ceritakan keadaannya. Namun, setelah saya merenung, melakukan meditasi selama puluhan hari sambil merem melek, tidak makan nasi tapi makan lontong, maka saya ingin menceritakan keadaan ini sesuai dengan kemantapan hati saya.

Pertandingan sepak bola yang idealnya diikuti oleh sebelas lawan sebelas pemain sudah lumrah dipertandingkan, tapi kalau pertandingan ini berlangsung antara sebelas pemain lawan satu pemain terdengar aneh bukan ? Iya, ini hanya terjadi dalam sepak bola hati saya. Saya harus berhadapan dengan sebelas pemain lawan. Padahal kalau pertandingan ini dilangsungkan secara adil [satu lawan satu] saya yakin akan menjadi juara pada pertandingan ini, karena lawan saya telah mengantongi kartu kuning pada pertandingan sebelumnya. Jadi ketika lawan saya melakukan pelanggaran lagi, maka kartu merah layak diterima dan lawan saya harus ditendang dari lapangan hijau.

Sayapun sempat merasakan aroma permainan yang tidak sehat di lapangan hijau. Mulai dari sikut kanan sikut kiri, umpatan pemain lawan, terror lawan, meludah di depan muka saya serta petugas keamanan yang hanya melongo melihat saya dipecundangi oleh lawan. Sekali saya mendapatkan bola, jangan harap anda akan melihat indahnya gocekan saya, satu langkahpun saya tidak bisa menggerakkan kaki saya, tak jarang sesekali botol mineral dari arah penonton juga pernah meluncur diwajah saya. Bahkan wasit pertandingan hanya terdiam, ketika pemain lawan melakukan pelanggaran keras terhadap saya, dengan “MENONJOK HATI SAYA”. Dengan terseok-seok setengah merasakan sakit hati, saya harus menghadapi permainan lawan yang menurunkan semua pemain terbaiknya, dan bagi saya pertandingan ini jauh dari harapan untuk menang.

Saya pun pernah mendapatkan hadiah tendangan penalty dari hakim pertandingan dan berbuah gol, namun hasil kemenangan saya dimentahkan karena suatu alasan yang sampai saat ini alasan itu tidak pernah saya temukan jawabannya. Ujung2nya saya mendapatkan kartu kuning, karena protes yang saya lontarkan terlalu berlebihan. Andaikan saya mendapatkan hadiah penalty untuk kedua kalinya, saya tetap ingin menendang si kulit bundar ini dengan sekuat hati, berharap melesak dan merobek robek jaring gawang sekaligus membungkam mulut besar lawan.

Jangan heran kalau permainan ini saya mainkan dengan durasi pertandingan yang sangat lama, yakni 365 hari x 2 = 730 hari, saya berjuang untuk sebuah kemenangan, mengangkat harga diri serta martabat hati. Dua tahun sudah, saya melakoni pertandingan ini dan saya berada di semua posisi mulai dari penjaga gawang, benteng pertahanan, gelandang sekaligus striker.

Untuk menyamakan skor pertandingan ini, nampaknya tidak akan pernah terjadi. Untuk mendapatkan keadilan dari hakim pertandingan saya juga tidak berharap. Karena saya yakin keadilan hanya akan saya dapatkan dari-Nya. Apapun yang terjadi, jika saya harus menyerah dengan skor yang telak, maka saya harus berbesar hati untuk bisa menerima kekalahan ini. Dan, jika kekalahan ini menimpa lawan saya, maka saya harus belajar rendah diri atas kemenangan ini.

Tapi sampai hari ini belum juga terdengar peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, sampai kapan tambahan waktu yang diberikan ? dimanakah pemain kedua saya ?

Bersambung …

6 thoughts on “Sepak Bola Hatiku

  1. Mas Misbach…
    Pemain bola bagus kalau ada dalam kesebelasan yang tidak bagus, tidak akan membuahkan prestasi. Menyingkirlah dulu dr kesebelasan tersebut. Bisa dengan mencari grup baru, atau suatu saat kembali kalau kesebelasan itu sudah lebih mampu mengartikan kerja sama dalam sebuah pertandingan.

    • Hup, saya tangkap komentarnya, meskipun berat banget bahasanya … tapi masuk koq Bun.
      Jadi terharu membacanya apalagi setelah mengerti makna komentar Bunda.
      Thanks Bun, saya akan lebih semangat lagi mencari pemain terbaik saya …

Tinggalkan komentar